Kita pernah melihat segolongan orang yang berniat untuk berdakwah lantas ia pun meninggalkan anak dan istrinya. Karena tawakkalnya yang tinggi, ia pun hanya membekali keluarganya dengan indomie dan beberapa makanan yang ia anggap cukup ketika ia meninggalkan mereka selama seminggu.
Malah yang terjadi, keluarga yang ditinggal mencari-cari uluran tangan orang lain karena kelalaian dari suaminya sendiri.
Ibnul Jauzi rahimahullah pernah berkata,
“Sekelompok orang mengklaim bahwa mereka adalah orang yang memiliki tawakkal yang tinggi. Mereka pun pergi keluar (bersafar) tanpa membawa bekal apa-apa. Padahal hal itu adalah suatu kesalahan dalam memahami tawakkal.
Ada seseorang yang pernah berkata pada Imam Ahmad bin Hambal, “Aku ingin pergi ke Makkah dengan bermodalkan tawakkal saja tanpa berbekal.” Imam Ahmad lantas berkata padanya, “Kamu pergi saja tanpa membawa kafilah.” Ia pun menjawab, “Tidak, aku tetap pergi bersama mereka (kafilah).” Imam Ahmad pun menjawab,
فَعَلَى جِرَابِ النَّاسِ تَوَكَّلْتَ!
“Apakah engkau hanya mau menggantungkan diri (tawakkal) pada bekal orang lain?!”
Kita memohon kepada Allah, moga diluruskan dari pemahaman yang keliru.” (Talbisul Iblis karya Ibnul Jauzi, dinukil dari Al Muntaqo An Nafis min Talbisil Iblis, hal. 153)
Intinya, tawakkal bukanlah hanya sekedar pasrah. Di dalam tawakkal harus ada melakukan usaha yang benar dan masuk akal.
Sahl bin ‘Abdillah At Tusturi berkata, “Siapa yang mencela tawakkal, maka ia telah cacat dalam iman. Siapa yang enggan berusaha, maka ia telah mencacati logikanya.” (Al Muntaqo An Nafis min Talbisil Iblis, hal. 312)
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
—
Muhammad Abduh Tuasikal -
0 komentar:
Posting Komentar