Shalawatan Antara Adzan dan Iqamat
Suatu ketika penulis pergi ke sebuah desa. Saat antara adzan dan iqamat penulis mendengar suara keras dari masjid. Alangkah kagetnya penulis karena irama shalawatan tersebut mengikuti irama nyanyian yang biasa dilantunkan pengamen di kereta atau bus.
Ketika penulis juga pergi ke sebuah kota, kami mendapati shalawatan/puji-pujian yang samar-samar kurang jelas bagi kami. Ternyata alangkah terkejutnya ketika kami tahu bahwa itu adalah shalawatan atau puji-pujian dengan bahasa khas Jawa susunan seorang tokoh mereka.
Dua contoh di atas sudah cukup membuktikan fenomena yang sering kita dapati di berbagai masjid negeri kita yaitu lantunan-lantunan shalawat dan puji-pujian antara adzan dan iqamat. Ironisnya, seringkali mereka mengeraskannya dengan mikrofon dan bersahut-sahutan sehingga mengganggu kekhusyukan. Lebih ironis lagi, banyak di antara shalawatan tersebut yang berisi sesuatu yang mungkar serta mengikuti irama nyanyian(!).
Nah, melalui tulisan singkat ini, penulis ingin mengajak pembaca sekalian untuk mempelajari bersama masalah ini dengan hati terbuka mencari kebenaran.
Teks Hadits
كَانَ بِلَالٌ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُقِيْمَ الصَّلَاةَ، قَالَ : السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، يَرْحَمُكَ اللَّهُ
Adalah Bilal apabila akan mengumandangkan iqamat, dia berkata: Keselematan bagimu wahai Nabi dan rahmat Allah serta keberkahannya, semoga Allah merahmatimu.
MAUDHU’. Diriwayatkan ath-Thabarani[1] dalam al-Ausath (1/27), “Menceritakan kepada kami Miqdam bin Dawud: Menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad al-Mughirah: Menceritakan kepada kami Kamil Abul Ala’ dari Abu Shalih dari Abu Hurairah”, lalu berkata, “Hadits ini tidak ada yang meriwayatkan dari Kamil kecuali Abdullah saja.”
Sanad ini maudhu’ (palsu). Sebabnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Mughirah ini, hadits-haditsnya palsu sebagaimana dikatakan adz-Dzahabi. Demikian juga Miqdam bin Dawud, dia tidak terpercaya sebagaimana dikatakan Nasai.[2]
Dampak Buruk ‘Hadits’
Hadits ini seakan-akan menjadi dasar untuk suatu bid’ah yang menyebar, yaitu shalawatan secara keras sebelum iqamat seperti bid’ah lainnya yaitu shalawatan secara keras usai adzan sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Padahal lahir hadits ini kalau memang shahih bahwa Bilal masuk ke kamar Nabi untuk memberitahu beliau agar keluar karena iqamat sudah dekat.[3]
Dalam banyak masjid, sang muadzin biasanya usai adzan dia mengeraskan shalawat seakan-akan merupakan bagian dari adzan. Tidak ragu lagi bahwa shalawat kepada Nabi pada asalnya disyari’atkan, tetapi shalawatan dengan tata cara seperti itu tidak ada tuntunannya dari Nabi dan para sahabat. Oleh karena itu, para ulama bersepakat bahwa hal tersebut termasuk kemungkaran dan kebid’ahan.
Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Guru-guru kami dan selain mereka telah ditanya tentang shalawat kepada Nabi setelah adzan seperti yang biasa dilakukan mayoritas muadzin. Mereka semua memfatwakan bahwa asalnya adalah sunnah tetapi kaifiat (tata cara) yang digunakannya adalah bid’ah.” Lanjutnya, “Hal itu karena adzan merupakan syi’ar Islam yang dinukil secara mutawatir sejak masa Nabi dan kata-katanya telah terhimpun dalam kitab-kitab hadits dan fiqih, disepakati oleh para imam kaum muslimin dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun tambahan shalawat dan salam di akhirnya, maka itu merupakan kebid’ahan yang dibuat-buat oleh orang-orang belakangan.” [4]
Persis dengan masalah ini juga adalah ketegasan tentang bid’ahnya dzikir-dzikir atau shalawatan beberapa menit sebelum adzan, khususnya shalat Subuh dan shalat Jum’at, sebagai pengantar adzan dan peringatan kepada manusia bahwa adzan telah dekat.
Hal ini, sekalipun dipandang baik oleh perasaan kebanyakan orang, tidak ada dalilnya dari al-Qur’an, hadits, dan amalan generasi salafush shalih, bahkan tergolong perkara baru dalam agama. Para ulama telah menghukumi hal ini termasuk perbuatan mungkar dan bid’ah:
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Apa yang diada-adakan dari tasbih sebelum Subuh dan Jum’at serta ‘shalawatan’, bukanlah termasuk adzan baik secara bahasa maupun secara syar’i.” [5]
Al-Hajjawi berkata, “Bacaan-bacaan sebelum Subuh selain adzan berupa tasbih, nasyid, do’a, dan sebagainya bukanlah perkara sunnah. Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan hal itu sunnah, bahkan hal itu termasuk perkara bid’ah yang tercela karena tidak ada pada zaman Nabi dan para sahabatnya. Maka tidak boleh bagi seorang pun untuk memerintahkannya atau mengingkari orang yang meninggalkannya.” [6]
Ibnul Hajj berkata, “Para muadzin dilarang dari perkara-perkara baru berupa tasbih di waktu malam (sebelum subuh) sekalipun pada asalnya dzikir itu baik, namun bukanlah di tempat-tempat yang ditinggalkan oleh syari’at.” [7] Beliau juga berkata, “Demikian juga pada hari Jum’at, hal itu dilarang karena Nabi tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya dan tidak pernah juga dilakukan oleh seorang pun setelahnya dari generasi salaf.” [8]
Lantas, bagaimana lagi kiranya bila hal itu dengan menggunakan mikrofon?!! Bukankah itu berdampak negatif bagi orang yang mau menggunakan akalnya?!!
Perlu diketahui bahwa bid’ah ini memiliki beberapa dampak negatif, di antaranya:
1. Merupakan perkara bid’ah dalam agama
Kita semua sepakat bahwa Islam telah sempurna, ibadah telah ditetapkan tata caranya, lafazh-lafazh adzan juga telah dijelaskan, maka segala sesuatu yang merupakan tambahan manusia terhadap ibadah termasuk maka tidak disyari’atkan. Bukti bahwa hal itu tidak ada dalilnya, tidak adanya lafazh yang paten sehingga masing-masing membuat model shalawatan sendiri. Seperti inikah ibadah yang diinginkan oleh Rabb kita?!
2. Mengganggu orang lain yang sedang ibadah
Tidak diragukan lagi bahwa shalawatan antara adzan dan iqamat sangat mengganggu kekhusyukan ibadah manusia lain yang sedang shalat sunnah, berdo’a, membaca al-Qur’an, atau orang yang sakit di rumah, apalagi kadang-kadang yang melantunkan adalah anak-anak yang notabene masih suka senda gurau dan main-main. Allah berfirman:
وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَـٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا۟ فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا۟ بُهْتَـٰنًۭا وَإِثْمًۭا مُّبِينًۭا ﴿٥٨﴾
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. al-Ahzab [33]: 58)
Perlu diingat bahwa saat antara adzan dan iqamat adalah saat terkabulnya do’a, sebagaimana hadits Nabi:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاة
“Antara dua adzan adalah shalat.” [9]
الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ
“Do’a antara adzan dan iqamat tidak tertolak (mustajab).” [10]
3. Menyalahi adab dzikir
Asal dalam berdzikir adalah tidak boleh dengan suara keras. Allah berfirman:
Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (QS. al-A’raf [7]: 205)
Rasulullah juga bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُم
“Wahai manusia, sayangilah diri kalian, sesungguhnya kalian tidak berdo’a kepada Zat yang bisu atau tidak ada, namun kalian berdo’a kepada Zat yang maha mendengar, dekat, dan bersama kalian.” (HR. Bukhari-Muslim)
Syaikh Albani mengatakan, “Asal dalam berdzikir adalah dengan merendahkan suara. Sebagaimana di-nash-kan dalam kitab dan sunnah kecuali yang telah dikecualikan.” [11]
Dikecualikan pada beberapa keadaan yang terdapat dalil yang menunjukkan dzikir dengan suara keras, seperti ketika adzan dan iqamat, ketika bertakbir pada dua hari raya, ketika bertalbiyah untuk haji dan umrah, dan lain-lain yang ada dalilnya.
Jangan Salah Paham!!
Perlu kami tegaskan di sini bahwa para ulama apabila mengingkari bid’ah seperti ini, maka janganlah ada anggapan pada diri seorang bahwa mereka mengingkari disyaria’atkannya shalawat kepada Nabi! Namun, yang mereka ingkari adalah apabila shalawat diletakkan pada tempat yang tidak dicontohkan oleh Nabi, atau dengan model-model yang tidak disyari’atkan oleh Allah melalui lisan Nabi-Nya, sebagaimana telah shahih dari Ibnu Umar bahwa tatkala ada seorang bersin dan berkata, “Alhamdulillah dan shalawat serta salam atas Rasulullah”, beliau berkata, “Saya juga mengatakan ‘alhamdulillah’ dan shalawat serta salam untuk Rasulullah, namun bukan seperti itu Rasulullah mengajari kita! Katakanlah ‘Alhamdulillahi Rabbil ’alamin’.”
Lihatlah bagaimana Ibnu Umar mengingkari peletakan shalawat di samping pujian kepada Allah dengan alasan bahwa Nabi tidak melakukan hal itu, padahal dalam waktu yang sama beliau menegaskan bahwa dirinya juga bershalawat kepada Nabi. Hal itu untuk menolak anggapan yang mungkin terlintas dalam benak orang bahwa beliau mengingkari shalawat secara keseluruhan! Sebagaimana anggapan sebagian orang-orang bodoh tatkala pembela sunnah mengingkari bid’ah-bid’ah seperti ini! Semoga Allah memberi mereka petunjuk kepada sunnah.[12]
Dan alangkah indahnya atsar dari Sa’id bin Musayyib, ia melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar lebih dari dua raka’at, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Akhirnya, Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku dengan sebab shalat?” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi sunnah.” [13]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengomentari atsar ini, “Ini adalah jawaban yang sangat indah dari Sa’id bin Musayyib, dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan shalat, kemudian membantai Ahlus Sunnah dan menuduh bahwa mereka (Ahlus Sunnah) mengingkari dzikir dan shalat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah penyelewengan ahlu bid’ah dari tuntunan Rasul dalam dzikir, shalat, dan lain-lain.” [14]
Dzikir Sunnah Pengganti
Imam Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa ada lima sunnah yang hendaknya diperhatikan oleh orang yang mendengarkan adzan[15], kami akan menyebutkannya dengan beberapa tambahan:
Seseorang yang mendengar adzan, hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengucapkan sebagaimana yang diucapkan oleh muadzin
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwasanya Rasulullah bersabda, “Apabila kalian mendengarkan adzan maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan muadzin.” [16]
Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menjawab adzan. Maka hendaknya bagi kita untuk menghidupkan sunnah yang banyak dilalaikan kaum muslimin ini. Aduhai, alangkah indahnya bila kita meniru para ulama dan orang-orang shalih dahulu. Al-Hafizh Ibnu Hajar menceritakan dari Ibnu Juraij, dia berkata, “Saya mendapat cerita bahwa manusia (pada zamannya) mendengarkan muadzin seperti mendengarkan bacaan, tidaklah para muadzin mengucapkan suatu kata kecuali mereka menirukannya.” [17]
2. Membaca dzikir setelah syahadat
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِنَّ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً وَبِالإِسْلاَمِ دِيْنًا غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash dari Rasulullah berkata, “Barangsiapa yang berkata ketika mendengar muadzin: ‘Saya bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah saja tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, saya ridha Allah sebagai Rabbku dan Muhammad sebagai nabiku, dan Islam sebagai agamaku’, maka dosanya diampuni.” [18]
Saudaraku, hidupkanlah sunnah yang hampir mati ini, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu.[19]Adapun letaknya, para ulama berselisih apakah setelah syahadat ataukah setelah usai adzan. Kita berharap masalahnya mudah, yakni boleh kedua-duanya, hanya saja dalam riwayat Abu Awanah 1/283–284 dijelaskan bahwa letaknya setelah syahadat sehingga hal itu lebih diutamakan.
3. Bershalawat atas Nabi
Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Ash:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ d أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ n يَقُولُ : إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوْا اللهَ لِيْ الْوَسِيْلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِيْ إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ وَأَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Dari Abdullah bin Amru bin Ash bahwasanya dia mendengar Nabi bersabda, “Apabila kalian mendengarkan adzan maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muadzin kemudian bershalawatlah kepadaku karena barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, Allah akan memberikan shalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mintalah kepada Allah wasilah karena itu adalah tempat di surga yang tidak layak kecuali untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah dan saya berharap sayalah yang mendapatkannya, maka barangsiapa yang memintakan untukku wasilah, niscaya halal syafa’at baginya.” [20]
Syaikh Albani berkata, “Dalam hadits ini ada tiga sunnah yang sering dilalaikan oleh kebanyakan manusia yaitu menjawab adzan, shalawat kepada Nabi, usai menjawab, dan memintakan wasilah untuk Nabi. Anehnya, engkau perhatikan sebagian orang yang meremehkan sunnah-sunnah ini adalah orang yang sangat fanatik memperjuangkan bid’ahnya shalawat muadzin secara keras usai adzan, padahal hal tersebut merupakan kebid’ahan dalam agama dengan kesepakatan ulama. Kalau mereka melakukan hal itu dengan alasan cinta Nabi, lantas kenapakah mereka tidak menghidupkan sunnah ini dan meninggalkan bid’ah tersebut?! Kita memohon hidayah.” [21]
4. Membaca do’a setelah adzan
Hal ini sebagaimana dalam hadits Jabir:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Jabir bin Abdillah bahwasanya Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berdoa ketika selesai mendengar adzan: ‘Ya Allah, Rabb seruan sempurna dan shalat yang tegak ini, berikanlah kepada Muhammad derajat dan keutamaan, dan berilah dia kedudukan yang terpuji, yang telah Engkau janjikan kepadanya.’ Maka halal atasnya syafa’atku di hari kiamat.” [22]
Ibnul Qayyim berkata, “Tatkala Rasulullah adalah makhluk yang paling tinggi ibadahnya, paling mengerti, paling takut kepada Allah, dan paling cinta kepada-Nya, maka tempatnya layak untuk berada paling dekat dengan Allah, di tingkatan surga yang paling tinggi. Nabi memerintahkan kepada umatnya untuk dirinya agar umatnya mendapatkan pahala dan keimanan dengan do’a tersebut.” [23]
5. Berdo’a umum antara adzan dan iqamat
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ
Dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda, “Do’a antara adzan dan iqamat tidak tertolak (mustajab).”[24]
Saudaraku, janganlah engkau luputkan waktu dan kesempatan berharga ini untuk memohon kepada Allah segala kebutuhan dan kebahagiaanmu di dunia dan akhirat.[25]
Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
[1]
Demikianlah harakatnya yang benar, yaitu dengan memfathah ba’, bukan dengan menyukunnya, nisbah kepada Thabariyyah, sebuah kota di Urdun. (Lihat al-Ansab as-Sam’ani 4/42, Wafayatul A’yan Ibnu Khallikan 2/407, Dhabtul A’lam Ahmad Taimur Basya hlm. 125)
Demikianlah harakatnya yang benar, yaitu dengan memfathah ba’, bukan dengan menyukunnya, nisbah kepada Thabariyyah, sebuah kota di Urdun. (Lihat al-Ansab as-Sam’ani 4/42, Wafayatul A’yan Ibnu Khallikan 2/407, Dhabtul A’lam Ahmad Taimur Basya hlm. 125)
[2]
Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah: 891
Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah: 891
[3]
Ibid. 2/294
Ibid. 2/294
[4]
Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 1/191
Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 1/191
[5]
Fathul Bari 2/99
Fathul Bari 2/99
[6]
Al-Iqna’ 1/77–78
Al-Iqna’ 1/77–78
[7]
Al-Madkhal 2/410
Al-Madkhal 2/410
[8]
Ibid. 2/417
Ibid. 2/417
[9]
HR. Bukhari: 601
HR. Bukhari: 601
[10]
HR. Abu Dawud (521), Tirmidzi (212), Nasai dalam Amalul Yaum wa Lailah sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (1/408–409), Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum (100) dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil (no. 244).
HR. Abu Dawud (521), Tirmidzi (212), Nasai dalam Amalul Yaum wa Lailah sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (1/408–409), Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum (100) dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil (no. 244).
[11]
Silsilah as-Shahihah 7/454
Silsilah as-Shahihah 7/454
[12]
Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah 2/294
Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah 2/294
[13]
SHAHIH. Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan Kubra 2/466 dan dishahihkan oleh al-Albani dalamIrwaul Ghalil 2/236.
SHAHIH. Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan Kubra 2/466 dan dishahihkan oleh al-Albani dalamIrwaul Ghalil 2/236.
[14]
Irwaul Ghalil 2/236
Irwaul Ghalil 2/236
[15]
Zadul Ma’ad 2/356–358, Jala’ul Afham hlm. 209, al-Wabilush Shayyib hlm. 131.
Zadul Ma’ad 2/356–358, Jala’ul Afham hlm. 209, al-Wabilush Shayyib hlm. 131.
[16]
HR. Muslim: 383
HR. Muslim: 383
[17]
Fathul Bari 2/109
Fathul Bari 2/109
[18]
HR. Muslim: 386
HR. Muslim: 386
[19]
Lihat al-Washiyyah bi Ba’dhi Sunan Syibhil Mansiyyah hlm. 52–53 oleh Haifa’ binti Abdullah ar-Rasyid.
Lihat al-Washiyyah bi Ba’dhi Sunan Syibhil Mansiyyah hlm. 52–53 oleh Haifa’ binti Abdullah ar-Rasyid.
[20]
HR. Muslim: 384
HR. Muslim: 384
[21]
Ta’liq Fadhlush Shalah ’ala Nabi hlm. 49–50
Ta’liq Fadhlush Shalah ’ala Nabi hlm. 49–50
[22]
HR. Bukhari: 614
HR. Bukhari: 614
[23]
Hadiy Arwah hlm. 54
Hadiy Arwah hlm. 54
[24]
HR. Abu Dawud (521), Tirmidzi (212), Nasai dalam Amalul Yaum wa Lailah sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (1/408–409), Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum (100) dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil (no. 244).
HR. Abu Dawud (521), Tirmidzi (212), Nasai dalam Amalul Yaum wa Lailah sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (1/408–409), Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum (100) dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil (no. 244).
[25]
Lihat pula an-Nubadz al-Mustathabah fi Da’awatil Mustajabah hlm. 55–56 oleh Syaikh Salim al-Hilali.
Lihat pula an-Nubadz al-Mustathabah fi Da’awatil Mustajabah hlm. 55–56 oleh Syaikh Salim al-Hilali.
0 komentar:
Posting Komentar